Di artikel ini saya mau menulis tentang pengalaman saya yang benar-benar terjadi sekitar hampir 2 bulan yang lalu tentang bagaimana 'Kita' memperlakukan 'Bagpacker Asing'.
Sekitar tanggal 20-an Agustus 2017, saya kembali ke tanah kelahiran saya di daerah Jawa Timur. Dari stasiun Lempuyangan ke Probolinggo membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Perlu diketahui, di stasiun Lempuyangan, hampir setiap hari pasti ada turis mancanegara yang berlibur di Jogja dan akan melanjutkan perjalanannya ke Probolinggo dengan destinasi Gunung Bromo dan selanjutnya Gunung Ijen atau langsung ke Bali. Kebanyakan dari turis mancanegara ini menggunakan kereta api. Mengapa saya katakan kebanyakan? Karena saya belum mengadakan jajak pendapat tentang destinasi turis mancanegara setelah dari Jogja.
Selanjutnya, di dalam perjalanan saya ke timur Jawa, saya berbincang-bincang dengan beberapa bagpackers, 2 dari Perancis dan 1 dari Jerman. Bahasa Inggris mereka cukup lancar dan karena itulah kami bisa berkomunikasi dengan baik. Ternyata tujuan kami sama, yaitu ke stasiun Probolinggo. Mereka bertiga juga ternyata baru kenal di dalam kereta Logawa yang kami tumpangi. Kami berbincang cukup lama dan akhirnya kami sampai di stasiun Probolinggo. Ketika kami sampai di stasiun, tepatnya di luar stasiun Probolinggo, mereka (para bagpackers) sudah dikerubungi oleh para calo2 transportasi dan penginapan di Probolinggo. Yang menjadi perhatian saya, adalah betapa mahalnya transportasi yang mereka tawarkan kepada para bagpackers asing ini, utamanya angkutan lokal (angkot) yang dipatok harga 50 ribu bertiga untuk mengantarkan mereka ke bertiga ke homestay tujuan mereka. Sesungguhnya untuk tarif angkot paling mahal 5 ribu di daerah sekitar Probolinggo. Saya yang ada di tempat saat itu membantu mereka dengan memberikan alternatif lain yang ternyata sama saja harganya. Oleh karena itu, karena kami dikerubungi oleh banyaknya orang yang menawarkan berbagai macam homestay yang posisinya mereka bertiga sudah mempunyai homestay tujuan mereka sendiri, langsung memutuskan untuk menggunakan tenaga sendiri yaitu jalan kaki. Mereka memutuskan hal tersebut lantaran melihat saya yang diancam dan dimaki oleh orang-orang di sekitar karena berniat membantu para bagpackers ini. Simple aja sih, alasan saya ingin membantu bagpackers ini, saya ingin membantu karena saya berpedoman
Pengalaman salah satu rekan saya yang sempat pergi ke Jepang ketika itu, mendapat tarif transportasi yang sama dengan orang disana. Berbeda dengan kita disini yang tidak menggunakan tarif 'biasa' kepada bagpacker asing. Begini ya, logikanya kalau memang mereka (bagpackers asing) adalah orang yang mampu, mereka gak akan memilih menjadi bagpacker. Kalau memang mereka mampu dan memilih menjadi bagpacker, bukan berarti kita semena-mena dong sama mereka.
Pasti ada juga yang berpikir "Kalau tarif dinaikkan untuk turis asing, akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat". Masyarakat yang mana, bung ? Menurut pengakuan supir angkot yang membantu saya, tarif angkot biasanya untuk turis asing 50 ribu itu yang makan juga akhirnya adalah preman-preman disana. Supir angkot yang jelas-jelas kehilangan bensin dan tenaga untuk mengantar para penumpang cuma dapat 5ribu untuk 1 penumpang. Masih mau ngomong untuk kesejahteraan masyarakat ? Kalau memang mau membedakan tarif, kenapa tidak secara resmi saja lewat Dinas Perhubungan ? Itu akan lebih trusted bagi mereka dan bagi kita juga. Ya gak ?
saya menulis artikel ini bukan berarti saya mendukung asing ya, tapi saya hanya menginginkan kita sebagai tuan rumah untuk bersikap baik kepada tamu. Sesuai dengan quotes di atas, alangkah lebih baiknya apabila kita menolong orang yang membutuhkan pertolongan kita. Siapa tau nanti kalo kita jadi bagpacker entah itu di negara sendiri atau di negara orang, kita dibantu juga sama orang baik. Right?
Sekitar tanggal 20-an Agustus 2017, saya kembali ke tanah kelahiran saya di daerah Jawa Timur. Dari stasiun Lempuyangan ke Probolinggo membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Perlu diketahui, di stasiun Lempuyangan, hampir setiap hari pasti ada turis mancanegara yang berlibur di Jogja dan akan melanjutkan perjalanannya ke Probolinggo dengan destinasi Gunung Bromo dan selanjutnya Gunung Ijen atau langsung ke Bali. Kebanyakan dari turis mancanegara ini menggunakan kereta api. Mengapa saya katakan kebanyakan? Karena saya belum mengadakan jajak pendapat tentang destinasi turis mancanegara setelah dari Jogja.
Selanjutnya, di dalam perjalanan saya ke timur Jawa, saya berbincang-bincang dengan beberapa bagpackers, 2 dari Perancis dan 1 dari Jerman. Bahasa Inggris mereka cukup lancar dan karena itulah kami bisa berkomunikasi dengan baik. Ternyata tujuan kami sama, yaitu ke stasiun Probolinggo. Mereka bertiga juga ternyata baru kenal di dalam kereta Logawa yang kami tumpangi. Kami berbincang cukup lama dan akhirnya kami sampai di stasiun Probolinggo. Ketika kami sampai di stasiun, tepatnya di luar stasiun Probolinggo, mereka (para bagpackers) sudah dikerubungi oleh para calo2 transportasi dan penginapan di Probolinggo. Yang menjadi perhatian saya, adalah betapa mahalnya transportasi yang mereka tawarkan kepada para bagpackers asing ini, utamanya angkutan lokal (angkot) yang dipatok harga 50 ribu bertiga untuk mengantarkan mereka ke bertiga ke homestay tujuan mereka. Sesungguhnya untuk tarif angkot paling mahal 5 ribu di daerah sekitar Probolinggo. Saya yang ada di tempat saat itu membantu mereka dengan memberikan alternatif lain yang ternyata sama saja harganya. Oleh karena itu, karena kami dikerubungi oleh banyaknya orang yang menawarkan berbagai macam homestay yang posisinya mereka bertiga sudah mempunyai homestay tujuan mereka sendiri, langsung memutuskan untuk menggunakan tenaga sendiri yaitu jalan kaki. Mereka memutuskan hal tersebut lantaran melihat saya yang diancam dan dimaki oleh orang-orang di sekitar karena berniat membantu para bagpackers ini. Simple aja sih, alasan saya ingin membantu bagpackers ini, saya ingin membantu karena saya berpedoman
if you help stranger (bagpacker), one day you will assisted as a stranger (bagpacker)Ending-nya adalah kami dibantu oleh sopir angkot yang baik hati yang mengantar kami sampai ke tujuan dengan tarif 'biasa'.
Pengalaman salah satu rekan saya yang sempat pergi ke Jepang ketika itu, mendapat tarif transportasi yang sama dengan orang disana. Berbeda dengan kita disini yang tidak menggunakan tarif 'biasa' kepada bagpacker asing. Begini ya, logikanya kalau memang mereka (bagpackers asing) adalah orang yang mampu, mereka gak akan memilih menjadi bagpacker. Kalau memang mereka mampu dan memilih menjadi bagpacker, bukan berarti kita semena-mena dong sama mereka.
Pasti ada juga yang berpikir "Kalau tarif dinaikkan untuk turis asing, akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat". Masyarakat yang mana, bung ? Menurut pengakuan supir angkot yang membantu saya, tarif angkot biasanya untuk turis asing 50 ribu itu yang makan juga akhirnya adalah preman-preman disana. Supir angkot yang jelas-jelas kehilangan bensin dan tenaga untuk mengantar para penumpang cuma dapat 5ribu untuk 1 penumpang. Masih mau ngomong untuk kesejahteraan masyarakat ? Kalau memang mau membedakan tarif, kenapa tidak secara resmi saja lewat Dinas Perhubungan ? Itu akan lebih trusted bagi mereka dan bagi kita juga. Ya gak ?
saya menulis artikel ini bukan berarti saya mendukung asing ya, tapi saya hanya menginginkan kita sebagai tuan rumah untuk bersikap baik kepada tamu. Sesuai dengan quotes di atas, alangkah lebih baiknya apabila kita menolong orang yang membutuhkan pertolongan kita. Siapa tau nanti kalo kita jadi bagpacker entah itu di negara sendiri atau di negara orang, kita dibantu juga sama orang baik. Right?
Komentar
Posting Komentar